Dambaan semua ibu jika proses persalinan berjalan dengan lancar serta sehat ibu dan bayinya. Namun tidak menutup kemungkinan adanya persalinan yang tidak lancar karena disertai dengan komplikasi. Salah satu komplikasi yang mungkin terjadi adalah ruptur uteri. Ruptur uteri sangat berbahaya bagi kesehatan ibu maupun janin.
Pengertian rupture uteri (rahim robek)
Ruptur uteri (rahim robek) adalah kondisi yang terjadi ketika ada robekan pada dinding rahim. Sesuai dengan namanya, rupture uteri adalah kondisi yang dapat membuat seluruh lapisan dinding rahim robek sehingga membahayakan kesehatan ibu dan bayinya. Tidak menutup kemungkinan, ruptur uteri bisa mengakibatkan perdarahan hebat pada ibu dan bayi yang tertahan di dalam rahim.
Meski seperti itu, risiko terjadinya rupture uteri (rahim robek) selama proses persalinan sangatlah kecil. Angka ini berkisar kurang dari 1% atau hanya 1 dari 3 wanita yang berisiko mengalami ruptur uteri saat melahirkan. Komplikasi melahirkan ruptur uteri ini biasanya terjadi selama proses melahirkan normal atau melalui vagina dalam posisi persalinan apa pun. Risiko dapat meningkat bagi ibu yang menjalani proses melahirkan normal setelah ibu pernah melakukan operasi caesar atau disebut dengan vaginal birth after caesar (VBAC). Peluang terjadinya rahim robek dapat semakin meningkat setiap kali ibu menjalani operasi melahirkan caesar dan kemudian beralih ke persalinan normal.
Gejala rupture uteri (rahim robek) saat melahirkan
Ruptur uteri (rahim robek) adalah komplikasi yang biasanya sudah mulai muncul di awal persalinan. Selanjutnya, robekan tersebut dapat semakin berkembang seiring berjalannya persalinan normal. Dokter mungkin akan menyadari gejala awal ruptur uteri karena adanya kelainan pada detak jantung bayi di dalam kandungan. Selain itu, ibu juga akan mengalami gejala berupa sakit perut hebat, perdarahan pada vagina, hingga nyeri di dada. Ibu bisa merasakan nyeri pada dada karena adanya iritasi diafragma akibat perdarahan internal tubuh.
Atas dasar inilah kondisi ibu hamil dan bayinya yang menjalani persalinan normal setelah sebelumnya pernah operasi caesar perlu terus diperhatikan. Pemantauan yang dilakukan oleh dokter beserta tim medis ini bertujuan untuk mendeteksi kalau-kalau muncul komplikasi berbahaya. Dengan begitu, tindakan medis bisa dilakukan secepat mungkin.
Secara keseluruhan, berikut merupakan beberapa gejala ketika ibu mengalami ruptur uteri atau rahim robek selama persalinan:
- Timbul rasa sakit hebat di sela-sela kontraksi saat melahirkan normal
- Kekuatan kontraksi persalinan cenderung melambat, melemah, dan kurang intens
- Perdarahan dari vagina dalam jumlah yang berlebihan
- Nyeri atau sakit pada perut yang tidak biasa
- Kepala bayi terhenti di jalan lahir ketika dikeluarkan melalui vagina
- Timbul rasa sakit tiba-tiba pada bekas sayatan operasi caesar sebelumnya di rahim
- Kekuatan otot-otot pada rahim menghilang
- Detak jantung ibu berubah menjadi lebih cepat
- Tekanan darah ibu rendah
- Denyut jantung bayi abnormal
- Persalinan normal tidak mengalami perkembangan
Sebaiknya segera periksakan diri ke dokter bila ibu mengalami beragam gejala yang mengarah pada ruptur uteri ditambah muncul berbagai tanda-tanda melahirkan. Selain kontraksi asli, tanda-tanda persalinan juga meliputi pembukaan lahiran dan air ketuban pecah. Ibu dengan kondisi ini sangat disarankan untuk melahirkan di rumah sakit dan bukan melahirkan di rumah. Karena proses melahirkan bisa datang kapan saja, pastikan ibu telah mempersiapkan berbagai persiapan persalinan dan perlengkapan melahirkan sejak jauh-jauh hari.
Jika ibu memiliki doula, pendamping persalinan ini umumnya akan terus menemani ibu sejak hamil hingga selesai persalinan.
Penyebab terjadinya rupture uteri (rahim robek) saat melahirkan
Kebanyakan kasus ruptur uteri saat proses persalinan terjadi tepat di area bekasi luka dari operasi caesar sebelumnya. Kemudian ketika menjalani persalinan normal, pergerakan bayi akan memberikan tekanan kuat pada rahim. Saking kuatnya, tekanan yang ditimbulkan dari pergerkan bayi tersebut dapat memengaruhi bekas luka operasi caesar. Hal inilah yang membuat ruptur uteri karena rahim seolah menahan berat dan tekanan dari pergerakan bayi.
Robekan pada rahim ini biasanya sangat terlihat di area bekas luka pada operasi caesar sebelumnya. Ketika ruptur uteri terjadi, bayi yang ada di dalam rahim dapat naik dan mengarah kembali ke perut ibu. Ya, bukannya keluar dari rahim, seluruh isi rahim termasuk bayi justru akan masuk ke perut ibu.
Kondisi rahim robek paling berisiko terjadi pada ibu yang memiliki sayatan vertikal bekasi operasi caesar di bagian atas rahim. Selain itu, jika ibu pernah melakukan berbagai jenis operasi pada rahim sebelumnya, hal ini bisa menjadi penyebab ruptur uteri. Operasi pengangkatan tumor jinak atau fibroid pada rahim dan melakukan perbaikan pada rahim yang bermasalah bisa jadi salah satu penyebabnya. Sementara kemungkinan rahim robek padahal kondisinya tergolong sehat sangat jarang terjadi.
Kondisi rahim sehat di sini maksudnya belum pernah melahirkan sebelumnya, tidak pernah menjalani operasi pada rahim, maupun pernah melahirkan tapi dengan metode normal. Akan tetapi, meski kondisi rahim ibu sehat, tetap tidak menutup kemungkinan komplikasi melahirkan yang satu ini bisa saja terjadi. Hal ini tergantung dari faktor risiko yang ibu miliki.
Beberapa faktor risiko yang dapat memperbesar peluang terjadinya ruptur uteri saat melahirkan meski rahim dalam kondisi sehat adalah :
- Kontraksi yang terlalu sering dan kuat entah karena pengaruh pemberian obat-obatan seperti oksitosin dan prostaglandin, maupun lepasnya plasenta dari dinding rahim (solusio plasenta)
- Sudah melahirkan 5 kali atau lebih
- Posisi plasenta yang berada terlalu masuk di dalam dinding rahim
- Proses persalinan memakan waktu cukup lama karena ukuran bayi terlalu besar ketimbang ukuran panggul ibu
- Pernah melakukan operasi caesar sebelumnya
- Pernah melahirkan normal atau melalui vagina
Ibu yang pernah menjalani operasi caesar sebelumnya dan menempuh metode melahirkan normal di kelahiran selanjutnya menempatkan ibu pada risiko tinggi mengalami rahim robek. Bahkan, melahirkan dengan metode normal sebelumnya turut menempatkan ibu pada peluang mengalami rahim robek. Hanya saja, peluang terjadinya kondisi tersebut berbeda pada metode melahirkan normal dan caesar.
Kondisi rahim terlalu buncit atau besar juga bisa menjadi salah satu faktor risiko ruptur uteri atau rahim robek. Perubahan pada bentuk rahim ini biasanya terjadi karena pengaruh dari jumlah cairan ketuban yang terlalu banyak maupun pernah hamil anak kembar dua, tiga, atau lebih.
Pernah mengalami kecelakaan mobil yang berpengaruh pada rahim maupun menjalani tindakan external cephalic version dapat menjadi faktor risiko ruptur uteri. External cephalic version adalah prosedur untuk mengubah posisi bayi sungsang saat persalinan.
Komplikasi yang ditimbulkan dari terjadinya rupture uteri (rahim robek)
Komplikasi yang mungkin muncul karena rahim robek ketika melahirkan dapat berisiko fatal bagi ibu dan bayi di dalam kandungan. Bagi ibu, misalnya, dapat menyebabkan perdarahan dalam jumlah banyak. Sementara pada bayi, ruptur uteri dapat menimbulkan masalah kesehatan yang jauh lebih besar. Setelah menemukan adanya ruptur uteri selama persalinan, dokter dan tim medis akan segera bertindak cepat untuk mengeluarkan bayi dari dalam rahim ibu. Ini karena jika tidak segera dikeluarkan dalam kurun waktu sekitar 10-40 menit, hal ini bisa berakibat fatal pada bayi. Kemungkinan besar bayi akan meninggal karena kekurangan oksigen di dalam kandungan.
Itu sebabnya, sebelum waktu melahirkan dokter biasanya akan menentukan metode persalinan yang tepat sesuai dengan kondisi kesehatan ibu dan bayi. Jika ibu memang memiliki faktor risiko yang memperbesar peluang munculnya ruptur uteri, dokter dan tim medis biasanya menyarankan untuk tidak melahirkan normal. Namun, apabila karena satu dan lain hal dokter memperbolehkan ibu untuk menempuh metode melahirkan normal, pengawasan akan selalu dilakukan selama persalinan berlangsung.
Cara mendiagnosis rupture uteri (rahim robek)
Pada intinya, diagnosis rahim robek hanya bisa dilakukan oleh dokter selama persalinan berlangsung. Dokter mendiagnosis dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh ibu saat proses persalinan berlangsung. Sebab, di sinilah gejala rahim robek sangat mudah terlihat ketimbang sebelum masuk waktu melahirkan.
Cara menangani rupture uteri (rahim robek)
Jika dokter melihat rahim ibu robek saat proses melahirkan normal sedang berlangsung, operasi caesar akan segera dilakukan. Itu artinya, proses melahirkan normal dengan vagina tidak bisa terus dilanjutkan, dan diganti dengan persalinan caesar. Melahirkan dengan operasi caesar bertujuan untuk mencegah risiko fatal pada ibu dan bayi. Cara ini dapat menarik bayi keluar dari dalam rahim ibu sehingga peluangnya untuk bertahan hidup bisa lebih besar.
Dokter kemudian akan memberikan perawatan lanjutan untuk bayi seperti pemberian oksigen tambahan. Dalam kasus lain, bila rahim robek atau rupture uteri ini menimbulkan perdarahan yang sangat banyak, dokter mungkin akan menempuh prosedur histerektomi. Histerektomi adalah prosedur medis untuk mengangkat rahim dari sistem reproduksi wanita.
Keputusan untuk melakukan histerektomi ini juga harus dipertimbangkan dengan matang oleh ibu dan keluarga. Pasalnya, setelah menempuh operasi angkat rahim, otomatis ibu sudah tidak bisa lagi hamil. Bahkan, menstruasi yang seharusnya rutin ibu alami setiap bulan juga akan ikut terhenti. Dokter juga dapat memberikan transfusi darah guna mengganti darah yang hilang dari tubuh ibu.
Cara untuk mencegah rupture uteri (rahim robek) saat melahirkan
Satu-satunya cara untuk mencegah ruptur uteri yakni dengan menempuh operasi caesar untuk melahirkan. Cara ini biasanya akan disarankan dokter sebelum memasuki waktu persalinan dengan tetap mempertimbangkan kondisi ibu dan bayi. Alangkah baiknya untuk rutin memeriksakan kandungan, serta mengonsultasikan semua rencana-rencana terkait persalinan nantinya dengan dokter.
Pastikan juga dokter mengetahui semua riwayat kesehatan, beserta riwayat mengenai kehamilan dan melahirkan sebelumnya. Dengan begitu, dokter dapat menentukan keputusan terbaik untuk ibu dan bayi sesuai dengan kondisi yang dialami.